Senin, 04 April 2016

Story | Dumb Love part II


Pemuda bule itu pun menyuruh seseorang didalam mobil (yang aku tebak adalah supirnya) untuk pergi. Lalu mobil mewah itu pun melesat pergi dan meninggalkan bunyi ‘brum’.
          Satpam penjaga itu kemudian meninggalkan aku dan pemuda tampan ini. Aku duduk di tempat duduk yang terbuat dari semen dan masih belum dicat sedikitpun. Pemuda itu pun juga mengikutiku duduk. Dia duduk dengan pelan sembari melihatku. Sedetik, aku merasa ada yang aneh pada diriku. Merasa bodoh, aku mencoba untuk mencium ketiakku sendiri. Tidak bau. Kemudian rambutku yang sedikit berwarna cokelat muda. Tidak juga bau. Lalu apa yang salah?? Apakah pakaianku yang tidak rapi atau memang kebiasaan orang bule seperti itu?
          Dia sudah memandangku lebih dari 5 menit. Karena merasa ganjil, aku pun bertanya dengan judesnya. “Apa yang sedang kau lihat?!”
          Dia hanya terdiam dan menaikkan alis kirinya. Wajahnya tampak lucu dengan ekspresinya sekarang. Dia pun lalu menjawab, “Hey, I’m Steve.”
          Apa anak ini tolol atau dia memang tidak mengerti Bahasa Indonesia? Kalau dia tidak bisa berbahasa Indonesia, kenapa dia disekolahkan di SMP negeri? Bagaimana dia akan mengerti saat guru menerangkan? Dasar bule aneh.
          “I didn’t ask your name.” akhirnya aku mengeluarkan jurus dalam berbahasa inggrisku. Teman-temanku bilang kalau bahasa inggrisku sangat bagus. Terutama lagi dalam Grammar. “ I said ‘what are you looking at?!’ You were looking at me, weren’t you?”
          Hening sejenak. Kemudian dia tersenyum padaku. “Your English is damn good.”
          Apaku bilang. Bahasa inggrisku memang sangat bagus. Terkadang aku saja bangga  pada diriku walaupun sebagian temanku bilang aku lolot (kebalikan dari tolol).
          “ Yea… I knew it, man!” ujarku, sembari menepuk bahu kanannya. “So, I knew your name. It’s Steve. And Steve, I’m Clara.  Great to meet you for the first time.”
          “Yeah… me too.” Dia melihat jam yang terlingkar dipergelangan tangannya. Steve memang sangat putih dan kulitnya sangat bersih seperti kulit bayi. “Will you be my friend? My first friend in Indonesia. Because, you know. I’m new here. My Bahasa isn’t really good. I have to learn it every Saturdays and Sundays and it is super boring.It’s like you’re doing Photoshoots.”
          “Of course. And you will be my first western friend for the real. I had a friend. She was western but we never met live. We met on Twitter. I got Twitter addicted anyway.”
          Dia hanya mengangguk yang aku anggap itu tanda setuju.
          “You’re beautiful.” Katanya. Nada-nada tulus mengalir diucapannya tadi. Aku hanya menundukkan kepala. Pipiku panas dan memerah. “By the way, it’s been 10 minutes. We can get in.”
          10 menit? Lalu aku melihat jam tanganku. Jarum panjang sudah menunjukkan lebih dari 10 menit. Aku mencari-cari satpam penjaga dari sisi-sisi pagar. “Pak..udah lewat 10 menit. Kita boleh masuk, kan?”
          Aku lihat kedua satpam sedang duduk sambil meminum kopi dan memakan sebuah pisang goreng berukuran besar. Padahal, minum kopi dan memakan pisang goreng itu cocok untuk bergadang bukan dipagi hari. Sekeras apapun aku berteriak memanggil satpam, mereka tak ada yang menyahut.
          Disekelilingku tidak ada celah untuk masuk kedalam kelas, kecuali..
          Pagar. Dibawah pagar tersisa celah. Kalau diperkirakan celah yang tersisa bisa muat untuk dilewati tubuhku apalagi tubuh Steve. Tubuhnya merupakan tubuh model dan… dia keren.
          “I’ve got an idea!” aku menjentikkan telunjukku.
          Tak ada respon beberapa menit darinya. Tapi setelah beberapa detiknya, dia hanya mengangkat alis kanannya dan hanya bertanya, “What the are you doing?”
          Aku pun langsung merangkak dibawah celah pagar. Walaupun sedikit tersangkut, aku tetap bisa masuk secara diam-diam. Lalu Steve melemparkan tasku yang tadinya kutitipkan. “Now, your turn.” Kataku. “Hurry up!”
          Kemudian Steve hanya berguling agar bisa muat dicelah tersebut. Dia melewatinya dengan sempurna tanpa tersangkut. Pikiranku mulai bertanya, “Apa aku terlalu gendut?”
          Meskipun kami berdua telah berhasil masuk kedalam sekolah, kedua satpam itu tidak menyadarinya. Mereka hanya sibuk dengan TV sembari memakan pisang goreng mereka. Bagaimana sekolah bisa aman?
          Steve yang belum fasih berbahasa Indonesia kesulitan dalam berkomunikasi. Buktinya, ketika seorang guru menahan kami dan menanyakan bahwa Steve adalah anak baru, dia justru tidak mengatakan apapun tetapi hanya menoleh kearahku.
          “Maaf, bu. Ini Steve. Dia anak baru.”ucapku. Aku rasa, aku akan menjadi penerjemah pribadi Steve yang baru. “What’s your class?” tanyaku pada Steve yang sedang melihat kesekeliling sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar